"Kamu ini kok sama sekali tidak
pernah bersyukur sih!" Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau
membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. "Ayo makan sop ini, kalau tidak
Mama pukul!" Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan
membanting pintu.
Perekat keluarga
Menurut Ery Soekresno, Psi,
Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal
yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai
perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun
1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan
disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya,
perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor
terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami
istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.
Komunikasi antara orang tua dan anak
adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan
pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah,
penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi
secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah.
"Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau
mendengarkan orangtua," tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye
komunikasi tanpa kekerasan ini.
Komunikasi dengan kekerasan tidak
melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti
penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya.
Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, "Kamu ini kok sama
sekali tidak pernah bersyukur sih!" juga bermasalah. Coba ditimbang secara
jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah
pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak
toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’
ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi,
mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.
Verbal dan non verbal
Ada
dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh).
Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja
yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka
hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa
non-verbal.
Ery mencontohkan, saat bayi
berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah,
bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon
sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, "Oh Abah ya, Abah.
Ya, itu Abah."Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap
kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu
memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang
siapa sebenarnya Abah.
Menurut Ery, orangtua perlu terus
menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak.
Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi
non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia
lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, "Ibu tuh sebenarnya
sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit
anak. Tak salah bila anak akan berpikir, "Oh sayang itu artinya sama
dengan mencubit ya." Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau
temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit.
"Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan
dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan
benar," jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.
Dampak komunikasi dengan
kekerasan
Dampak dari komunikasi dengan
kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan
pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat.
Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan
melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.
Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang
terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk
berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es
kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu. Di hari kedua, sang ibu tidak
menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya
dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang
berusia 5 tahun berkomentar, "Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?"
Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi
dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. " Kamu ini kok nggak bersyukur
banget sih?" Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi
takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti
itu terjadi berulang kali.
Lebih berbahaya lagi, menurut Ery,
bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila
orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan
terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.
Dampak lainnya adalah menjadi
terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap
anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan
berpikir, "Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?" Menurut
Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya
yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam
benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar.
Misalnya, saat seorang anak sedang
duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu
mengatakan "Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu
nyapu," Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar,
"Wah tumben nih anak ibu nyapu." Komentar seperti itu akan membuat
anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba
salah.
Komunikasi yang baik saat ibu sedang
menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah "Ibu seneng deh
kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah
ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita". Pesan
akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah
diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan
penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.
Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama
adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan
kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi
referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua
melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu
kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum
anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk
berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para
orangtua.(sumber tidak diketahui. bagi yang merasa punya tulisan ini bisa menghubungi admin Tips Wanita : tips2wanita@yahoo.com)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.